Kantor Pengacara Pekanbaru - AHR Lawyers 1

Insight

AHR UPDATES

TERDAPAT SERTIFIKAT GANDA DI ATAS TANAH YANG SAMA, MAKA BUKTI HAK MANA YANG PALING KUAT?


Latar Belakang

Sertifikat hak atas tanah (“Sertifikat”) merupakan dokumen resmi yang menyatakan bahwa seseorang atau badan merupakan pemilik hak atas suatu tanah. Sertifikat juga berfungsi sebagai bukti kepemilikan tanah yang sah dan merupakan salah satu syarat untuk melakukan transaksi jual beli tanah.

Untuk mendapatkan sertifikat, pemilik tanah harus melakukan proses pendaftaran di Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Pendaftaran sertifikat dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur dalam hukum pertanahan yang berlaku, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan pelaksananya. Pemilik tanah harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BPN, seperti mengisi formulir pendaftaran, menunjukkan dokumen pendukung kepemilikan tanah, serta membayar biaya pendaftaran yang telah ditetapkan.

Apabila semua persyaratan telah terpenuhi dan tidak terdapat masalah dengan dokumen yang diajukan, BPN akan menerbitkan sertifikat yang sah bagi pemilik tanah. Sertifikat yang diterbitkan oleh BPN merupakan dokumen resmi yang sah dan dapat diakui oleh pihak-pihak yang terkait dengan masalah pertanahan.

Meskipun prosedur penerbitan sertifikat telah dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan standar operasional prosedur (sop) kantor pertanahan, akan tetapi tetap saja terkadang ada masalah terhadap penerbitan sertifikat tersebut. Salah satu masalah pertanahan yang sering ditemukan dalam hal penerbitan sertifikat oleh kantor pertanahan yaitu adanya sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang sama dimana keduanya sama-sama bersifat otentik dan diterbitkan oleh kantor pertanahan.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka timbul pertanyaan bahwa sertifikat manakah yang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan diakui legalitasnya apabila masalah pertanahan tersebut dibawa ke pengadilan?

Pembahasan

Sebelum masuk pada pokok pembahasan, perlu terlebih dahulu diklarifikasi bahwa pembahasan dalam tulisan ini akan terbatas pada sengketa kepemilikan (perdata) hak atas tanah yang disebabkan karena adanya sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang sama dimana keduanya sama-sama bersifat otentik dan diterbitkan oleh kantor pertanahan.

Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24 1997”), sertifikat adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Sebagai suatu tanda bukti hak, sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, yang dimaksud dengan bukti hak yang kuat di dalam pasal ini yaitu bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar (vide Pasal 32 ayat 1 PP 24 1997).

Dengan demikian, maka apabila terjadi sengketa kepemilikan hak atas tanah antara pemilik tanah yang memiliki sertifikat dengan pemilik tanah yang memiliki surat lurah/desa (e.g. skrpt/skgr/girik) maka sudah pasti pemilik tanah dengan sertifikat memiliki bukti hak yang lebih kuat. Terlebih lagi apabila dapat dibuktikan bahwa sertifikat tersebut diperoleh dengan itikad baik sesuai dengan PP 24 1997 dan perubahan-perubahannya.

Akan tetapi, baik itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan PP 24 1997 serta perubahan-perubahannya tidak ada mengatur kekuatan bukti hak mana yang lebih kuat apabila terdapat 2 (dua) sertifikat dalam satu bidang tanah yang sama. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2018 kemudian menerbitkan Yurisprudensi Nomor: 5/Yur/Pdt/2018 yang berisi kaidah hukum sebagai berikut:

“Jika terdapat sertifikat ganda atas tanah yang sama, dimana keduanya sama-sama otentik maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu.”

Ternyata, Mahkamah Agung Republik Indonesia sejak tahun 2015 telah konsisten memutuskan bahwa apabila terdapat 2 (dua) sertifikat di atas sebidang tanah yang sama dimana kedua sertifikat tersebut sama-sama otentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat yang terbit lebih dahulu. Putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memuat kaidah hukum tersebut yaitu:

  1. Putusan MARI Nomor: 976 K/PDT/2015 tanggal 27 November 2015;
  2. Putusan MARI Nomor: 290 K/Pdt/2016 tanggal 17 Mei 2016;
  3. Putusan MARI Nomor: 143 PK/Pdt/2016 tanggal 19 Mei 2016;
  4. Putusan MARI Nomor: 1318 K/Pdt/2017 tanggal 26 September 2017;
  5. Putusan MARI Nomor: 734 PK/Pdt/2017 tanggal 19 Desember 2017;
  6. Putusan MARI Nomor: 170 K/Pdt/2017 tanggal 10 April 2017.

Sehingga, apabila sengketa kepemilikan hak atas tanah sampai pada proses litigasi perdata di Pengadilan, maka pemilik tanah yang memiliki sertifikat yang terbit lebih dahulu berkemungkinan untuk dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas tanah yang disengketakan. Perlu diingat pula bahwa kaidah hukum ini hanya berlaku apabila sertifikat yang terbit lebih dahulu tersebut diperoleh dengan itikad baik sesuai dengan PP 24 1997 dan perubahan-perubahannya.

Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, lebih kuat dibandingkan surat lurah/desa (e.g. skrpt/skgr/girik);
  2. Apabila terdapat 2 (dua) sertifikat dalam satu bidang tanah yang sama dimana keduanya sama-sama otentik, dan terlibat dalam sengketa kepemilikan di Peradilan Umum, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat yang terbit lebih dahulu. Dengan demikian, maka pemilik tanah yang memiliki sertifikat yang terbit lebih dahulu berkemungkinan untuk dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas tanah yang disengketakan.

 

SEE ALSO